Minggu, 13 November 2016

KOSMOPOLITAN

KOSMOPOLITAN
Dosen : Suzie Handajani, M.A., Ph.D.
Disusun Oleh
Feriko Ilham A.                        348392
Ivan Raharjo                              315812
Muh Erwin Dwi A.                  353029
Muhammad Iqbal N.               346528
Richardi Giri S.                        352960
Wahyu Rizki S.                        346445

FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2016
Pada awalnya terdapat 10 orang yang mengadakan pertemuan pada July 1946 untuk mendirikan Asosasi Profesional Antropologi Sosial. Tujuannya yakni untuk mereposisi antropologi sosial dalam kaitannya dengan kosmopolitan, teori filosofi politik, sosiologo globalisasi dan pembelajaran sejarah setelah penjajahan. Kosmopolitan berasal dari kata cosmos yang artinya dunia dan polis yang berarti kota, kemudian dideskripsikan menjadi penduduk dunia yang merupakan bagian dari lingkaran universal yang terlibat kepentingan baik sebagian maupun secara keseluruhan yang dibentuk dari kekeluargaan dan negara (Cheach, 2006:487). Pemikiran kosmopolitan pertama kali dicetuskan oleh Cynic Diogene pada 25 abad yang lalu, dimana dia adalah orang pertama yang memiliki pandangan bahwa dia adalah seorang penduduk dunia “I am the citizen of the world”.
Kosmopolitan merupakan gagasan mencari hak dan kewajiban universal yang mengikat semua orang-orang secara bersama-sama di dalam dunia yang adil dan sejahtera. Konsepsi pertama kewarganegaraan kosmopolitan menekankan akan kebutuhan rasa saling memiliki tidak hanya sebatas nasional saja, tanggung jawab pribadi terhadap lingkungan dunia. Konsepsi yang kedua berkaitan dengan pengembangan suatu sistem hak asasi manusia yang universal. Adanya kepercayaan bahwa umat manusia secara berangsur-angsur akan semakin dekat dengan kewarganegaraan dunia melalui suatu evolusi hukum kosmopolitan yang melindungi hak-hak manusia. Kosmopolitan mengarah kepada kehidupan yang baru dengan tingkat kehidupan yang lebih tinggi dari sebelumnya. Dari sini muncul pendapat bahwa kosmopolitan adalah merupakan sebuah kondisi yang mampu diikuti hanya oleh orang – orang tertentu, diantaranya akademisi, politisi, dan pebisnis dimana mereka mempunyai kapabilitas untuk hidup secara kosmo.

Islam dan Budaya Kosmopolitan
Budaya Kosmopolitanisme Islam sudah terjadi sejak masa-masa awal perkembangan Islam. Hal ini dibuktikan dengan kebersediaan Islam untuk berinteraksi dan menyerap unsur-unsur lain di luarnya. Keterbukaan itulah yang memungkinkan kaum muslim selama sekian abad menyerap berbagai macam manifestasi kultural dan wawasan keilmuan yang datang dari peradaban lain. Kosmopolitanisme peradaban Islam bagi Gus Dur muncul dalam sejumlah unsur dominan, seperti hilangnya batasan etnis, kuatnya pluralitas budaya, heteroginitas politik dan kehidupan beragama yang eklektik selama berabad-abad
Universalisme Islam menampakkan diri dalam berbaga manifestasi penting dan yang terbaik adalah dalam ajaran-ajarannya. Rangkaian ajaran yang meliputi berbagai bidang, seperti hukum agama (fiqh), keimanan (tawhid), etika (akhlaq), seringkali disempitkan oleh masyarakat hingga menjadihanya kesusilaan belaka) dan sikap hidup, menampilkan kepedulian yang sangat besar kepada unsur-unsur utama dari kemanusiaan (al-insaniyyah).
Prinsip-prinsip seperti persamaan derajat dimuka hukum, perlindungan warga masyarakat dari kedzaliman dan kesewenangwenangan, penjagaan hak-hak mereka yang lemah dan menderita
kekurangan dan pembatasan atas wewenang para pemegang kekuasaan, semuanya jelas menunjukkan kepedulian di atas. Sementara itu, universalisme yang tercermin dalam ajaran-ajaran yang memiliki kepedulian kepada unsur-unsur utama kemanusiaan itu diimbangi pula oleh kearifan yang muncul dari keterbukaan peradaban Islam sendiri.
Salah satu ajaran yang dengan sempurna menampilkan universalisme Islam adalah lima buah jaminan dasar yang diberikan agama samawi terakhir ini kepada warga masyarakat baik secara perorangan maupun sebagai kelompok. Kelima jaminan dasar itu tersebar dalam literatur hukum agama (al-kutub al-fiqhiyyah) lama, yaitu jaminan dasar akan :
  1. Keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum.
  2. Keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan untuk berpindah agama.
  3. Keselamatan keluarga dan keturunan.
  4. Keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum, dan
  5. Keselamatan profesi.
Jaminan akan keselamatan fisik warga masyarakat mengharuskan adanya pemerintahan berdasarkan hukum, dengan perlakuan adil kepada semua warga masyarakat tanpa kecuali, sesuai dengan hak masingmasing. Hanya dengan kepastian hukumlah sebuah masyarakat mampu mengembangkan wawasan persamaan hak dan derajat antara sesama warganya, sedangkan kedua jenis persamaan itulah yang menjamin terwujudnya keadilan sosial dalam arti sebenar-benarnya.
Secara keseluruhan kelima jaminan dasar atas menampilkan universalitas pandangan hidup yang utuh dan bulat. Ketika universalitas ajaran Islam dimunculkan dan diterapkan dalam setiap lembaga pendidikan khususnya menjadi sangat urgen ditengah maraknya kekerasan yang terjadi yang mengatasnamakan agama.
Karena selama ini semua jaminan dasar itu hanya menyajikan kerangka teoritik atau hanya mungkin sebagai moralitas belaka yang tidak berfungsi dan tidak didukung oleh peradaban Islam sendiri. Gus Dur menyatakan bahwa sebenarnya nilai kosmopolitan dari peradaban Islam sendiri telah muncul sejak awal kemunculan Islam sendiri. Yaitu dimulai dengan cara nabi Muhammad saw mengatur pengorganisasian masyarakat hingga munculnya ensiklopedis Muslim awal seperti Al-Jahiz pada abad ketiga hijriyah, mencerminkan proses saling menyerap dengan peradaban-peradaban lain di sekitar dunia Islam pada waktu itu. Yaitu mulai dari sisa-sisa peradaban Yunani kuno yang berupa hellenisme hingga peradaban anak benua India.
Tampak dari sosok Gus Dur menginginkan suatu budaya inklusif dalam rangka menciptakan suatu peradaban yang tinggi. Kosmopolitanisme akan muncul dalam sejumlah unsur dominan seperti hilangnya batasan etnis, kuatnya pluralitas budaya, dan heterogenitas politik. Dalam rangka menciptakan suatu budaya kosmopolitan tersebut dalam kehidupan nyata
sangat sulit ditengah kehidupan sekarang ini. Ketika budaya kosmopolitan mencoba diterapkan dalam dunia pendidikan maka ketika ada suatu perbedaan baik itu pendapat atau persepsi itu merupakan suatu hal yang lumrah. Dengan adanya hal itu dunia pendidikan seharunya memberikan suatu ruang untuk memfasilitasi akan terlaksananya suatu dialogis sehingga memunculkan sikap progresif yang tak jarang memunculkan suatu antitesis terhadap tesis sebelumnya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa nilai kosmopolitan dalam ajaran Islam tercapai secara optimal manakala terjadi keseimbangan antara kecendrungan normatif kaum Muslim dan kebebasan berfikir semua peserta didik yang non muslim. Hal itu merupakan suatu budaya kosmopolitan yang kreatif karana di dalamnya setiap peserta didik mengambil inisiatif untuk mencari wawasan terjauh dari karusan berpegang kepada kebenaran.

Indonesia dan Kosmopolitan
Indonesia sendiri yang memiliki Pancasila sebagai dasar negara diperoleh dari alinea keempat Pembukaan UUD 1945 dan sebagaimana tertuang dalam Memorandum DPR-GR 9 Juni 1966 yang menandaskan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa yang telah dimurnikan dan dipadatkan oleh PPKI atas nama rakyat Indonesia. Inilah sifat dasar Pancasila yang pertama dan utama, yakni sebagai dasar negara (philosophische grondslaag) Republik Indonesia.18 Pancasila yang terkandung dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 tersebut ditetapkan sebagai dasar negara pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI yang dapat dianggap sebagai penjelmaan kehendak seluruh rakyat Indonesia yang merdeka. Atas dasar ini, Pancasila merupakan intelligent choice karena mengatasi keanekaragaman dalam masyarakat Indonesia dengan tetap toleran terhadap adanya perbedaan. Penetapan Pancasila sebagai dasar negara tidak hendak menghapuskan perbedaan tetapi merangkum semuanya dalam satu semboyan empiris khas Indonesia yang dinyatakan dalam seloka “Bhinneka Tunggal Ika”.
Penetapan Pancasila sebagai dasar negara itu memberikan pengertian bahwa negara Indonesia adalah Negara Pancasila. Hal itu mengandung arti bahwa negara harus tunduk kepadanya, membela dan melaksanakannya dalam seluruh perundang-undangan. Mengenai hal itu, Kirdi Dipoyudo (1979:30) menjelaskan: “Negara Pancasila adalah suatu negara yang didirikan, dipertahankan dan dikembangkan dengan tujuan untuk melindungi dan mengembangkan martabat dan hak-hak asasi semua warga bangsa Indonesia (kemanusiaan yang adil dan beradab), agar masing-masing dapat hidup layak sebagai manusia, mengembangkan dirinya dan mewujudkan kesejahteraannya lahir batin selengkap mungkin memajukan kesejahteraan umum, yaitu kesejahteraan lahir batin seluruh rakyat, dan mencerdaskan kehidupan bangsa (keadilan sosial).”
Pandangan tersebut melukiskan Pancasila secara integral secara utuh dan menyeluruh sehingga merupakan penopang yang kokoh terhadap negara yang didirikan di atasnya, dipertahankan dan dikembangkan dengan tujuan untuk melindungi dan mengembangkan martabat dan hak-hak asasi semua warga bangsa Indonesia. Perlindungan dan pengembangan martabat kemanusiaan itu merupakan kewajiban negara. Pancasila seperti yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dan ditegaskan keseragaman sistematikanya melalui Instruksi Presiden No.12 Tahun 1968 itu tersusun secara hirarkis-piramidal. Setiap sila (dasar atau asas) memiliki hubungan yang saling mengikat dan menjiwai satu sama lain sedemikian rupa sehingga tidak dapat dipisah-pisahkan. Melanggar satu sila dan mencari pembenarannya pada sila lainnya adalah tindakan sia-sia. Oleh karena itu, Pancasila pun harus dipandang sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh, yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Usaha memisahkan sila-sila dalam kesatuan yang utuh dan bulat dari Pancasila akan menyebabkan Pancasila kehilangan esensinya sebagai dasar negara.
Sebagai alasan mengapa Pancasila harus dipandang sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh ialah karena setiap sila dalam Pancasila tidak dapat diantitesiskan satu sama lain. Prof. Notonagoro melukiskan sifat hirarkis-piramidal Pancasila dengan menempatkan sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai basis bentuk piramid Pancasila. Dengan demikian keempat sila yang lain haruslah dijiwai oleh sila Ketuhanan Yang Mahaesa. Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa Pancasila sebagai dasar negara sesungguhnya berisi:
  1. Ketuhanan yang Maha Esa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Persatuan Indonesia, yang ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
  2. Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Ketuhanan yang Maha Esa, yang ber-Persatuan Indonesia, yang ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
  3. Persatuan Indonesia, yang berKetuhanan yang maha esa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, berKerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
  4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, yang ber-Ketuhanan yang Maha Esa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Persatuan Indonesia, dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
  5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Persatuan Indonesia, dan ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.