KOSMOPOLITAN
Dosen : Suzie Handajani, M.A., Ph.D.
Disusun Oleh
Feriko Ilham A. 348392
Ivan Raharjo 315812
Muh Erwin Dwi A. 353029
Muhammad Iqbal N. 346528
Richardi Giri S. 352960
Wahyu Rizki S. 346445
FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2016
Pada awalnya terdapat 10 orang yang
mengadakan pertemuan pada July 1946 untuk mendirikan Asosasi Profesional
Antropologi Sosial. Tujuannya yakni untuk mereposisi antropologi sosial
dalam kaitannya dengan kosmopolitan, teori filosofi politik, sosiologo
globalisasi dan pembelajaran sejarah setelah penjajahan. Kosmopolitan
berasal dari kata cosmos yang artinya dunia dan polis
yang berarti kota, kemudian dideskripsikan menjadi penduduk dunia yang
merupakan bagian dari lingkaran universal yang terlibat kepentingan baik
sebagian maupun secara keseluruhan yang dibentuk dari kekeluargaan dan
negara (Cheach, 2006:487). Pemikiran kosmopolitan pertama kali
dicetuskan oleh Cynic Diogene pada 25 abad yang lalu, dimana dia adalah
orang pertama yang memiliki pandangan bahwa dia adalah seorang penduduk
dunia “I am the citizen of the world”.
Kosmopolitan merupakan gagasan mencari
hak dan kewajiban universal yang mengikat semua orang-orang secara
bersama-sama di dalam dunia yang adil dan sejahtera. Konsepsi pertama
kewarganegaraan kosmopolitan menekankan akan kebutuhan rasa saling
memiliki tidak hanya sebatas nasional saja, tanggung jawab pribadi
terhadap lingkungan dunia. Konsepsi yang kedua berkaitan dengan
pengembangan suatu sistem hak asasi manusia yang universal. Adanya
kepercayaan bahwa umat manusia secara berangsur-angsur akan semakin
dekat dengan kewarganegaraan dunia melalui suatu evolusi hukum
kosmopolitan yang melindungi hak-hak manusia. Kosmopolitan mengarah
kepada kehidupan yang baru dengan tingkat kehidupan yang lebih tinggi
dari sebelumnya. Dari sini muncul pendapat bahwa kosmopolitan adalah
merupakan sebuah kondisi yang mampu diikuti hanya oleh orang – orang
tertentu, diantaranya akademisi, politisi, dan pebisnis dimana mereka
mempunyai kapabilitas untuk hidup secara kosmo.
Islam dan Budaya Kosmopolitan
Budaya Kosmopolitanisme Islam sudah
terjadi sejak masa-masa awal perkembangan Islam. Hal ini dibuktikan
dengan kebersediaan Islam untuk berinteraksi dan menyerap unsur-unsur
lain di luarnya. Keterbukaan itulah yang memungkinkan kaum muslim selama
sekian abad menyerap berbagai macam manifestasi kultural dan wawasan
keilmuan yang datang dari peradaban lain. Kosmopolitanisme peradaban
Islam bagi Gus Dur muncul dalam sejumlah unsur dominan, seperti
hilangnya batasan etnis, kuatnya pluralitas budaya, heteroginitas
politik dan kehidupan beragama yang eklektik selama berabad-abad
Universalisme Islam menampakkan diri
dalam berbaga manifestasi penting dan yang terbaik adalah dalam
ajaran-ajarannya. Rangkaian ajaran yang meliputi berbagai bidang,
seperti hukum agama (fiqh), keimanan (tawhid), etika (akhlaq),
seringkali disempitkan oleh masyarakat hingga menjadihanya kesusilaan
belaka) dan sikap hidup, menampilkan kepedulian yang sangat besar kepada
unsur-unsur utama dari kemanusiaan (al-insaniyyah).
Prinsip-prinsip seperti persamaan derajat
dimuka hukum, perlindungan warga masyarakat dari kedzaliman dan
kesewenangwenangan, penjagaan hak-hak mereka yang lemah dan menderita
kekurangan dan pembatasan atas wewenang
para pemegang kekuasaan, semuanya jelas menunjukkan kepedulian di atas.
Sementara itu, universalisme yang tercermin dalam ajaran-ajaran yang
memiliki kepedulian kepada unsur-unsur utama kemanusiaan itu diimbangi
pula oleh kearifan yang muncul dari keterbukaan peradaban Islam sendiri.
Salah satu ajaran yang dengan sempurna
menampilkan universalisme Islam adalah lima buah jaminan dasar yang
diberikan agama samawi terakhir ini kepada warga masyarakat baik secara
perorangan maupun sebagai kelompok. Kelima jaminan dasar itu tersebar
dalam literatur hukum agama (al-kutub al-fiqhiyyah) lama, yaitu jaminan
dasar akan :
- Keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum.
- Keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan untuk berpindah agama.
- Keselamatan keluarga dan keturunan.
- Keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum, dan
- Keselamatan profesi.
Jaminan akan keselamatan fisik warga
masyarakat mengharuskan adanya pemerintahan berdasarkan hukum, dengan
perlakuan adil kepada semua warga masyarakat tanpa kecuali, sesuai
dengan hak masingmasing. Hanya dengan kepastian hukumlah sebuah
masyarakat mampu mengembangkan wawasan persamaan hak dan derajat antara
sesama warganya, sedangkan kedua jenis persamaan itulah yang menjamin
terwujudnya keadilan sosial dalam arti sebenar-benarnya.
Secara keseluruhan kelima jaminan dasar
atas menampilkan universalitas pandangan hidup yang utuh dan bulat.
Ketika universalitas ajaran Islam dimunculkan dan diterapkan dalam
setiap lembaga pendidikan khususnya menjadi sangat urgen ditengah
maraknya kekerasan yang terjadi yang mengatasnamakan agama.
Karena selama ini semua jaminan dasar itu
hanya menyajikan kerangka teoritik atau hanya mungkin sebagai moralitas
belaka yang tidak berfungsi dan tidak didukung oleh peradaban Islam
sendiri. Gus Dur menyatakan bahwa sebenarnya nilai kosmopolitan dari
peradaban Islam sendiri telah muncul sejak awal kemunculan Islam
sendiri. Yaitu dimulai dengan cara nabi Muhammad saw mengatur
pengorganisasian masyarakat hingga munculnya ensiklopedis Muslim awal
seperti Al-Jahiz pada abad ketiga hijriyah, mencerminkan proses saling
menyerap dengan peradaban-peradaban lain di sekitar dunia Islam pada
waktu itu. Yaitu mulai dari sisa-sisa peradaban Yunani kuno yang berupa
hellenisme hingga peradaban anak benua India.
Tampak dari sosok Gus Dur menginginkan
suatu budaya inklusif dalam rangka menciptakan suatu peradaban yang
tinggi. Kosmopolitanisme akan muncul dalam sejumlah unsur dominan
seperti hilangnya batasan etnis, kuatnya pluralitas budaya, dan
heterogenitas politik. Dalam rangka menciptakan suatu budaya
kosmopolitan tersebut dalam kehidupan nyata
sangat sulit ditengah kehidupan sekarang
ini. Ketika budaya kosmopolitan mencoba diterapkan dalam dunia
pendidikan maka ketika ada suatu perbedaan baik itu pendapat atau
persepsi itu merupakan suatu hal yang lumrah. Dengan adanya hal itu
dunia pendidikan seharunya memberikan suatu ruang untuk memfasilitasi
akan terlaksananya suatu dialogis sehingga memunculkan sikap progresif
yang tak jarang memunculkan suatu antitesis terhadap tesis sebelumnya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
nilai kosmopolitan dalam ajaran Islam tercapai secara optimal manakala
terjadi keseimbangan antara kecendrungan normatif kaum Muslim dan
kebebasan berfikir semua peserta didik yang non muslim. Hal itu
merupakan suatu budaya kosmopolitan yang kreatif karana di dalamnya
setiap peserta didik mengambil inisiatif untuk mencari wawasan terjauh
dari karusan berpegang kepada kebenaran.
Indonesia dan Kosmopolitan
Indonesia sendiri yang memiliki Pancasila
sebagai dasar negara diperoleh dari alinea keempat Pembukaan UUD 1945
dan sebagaimana tertuang dalam Memorandum DPR-GR 9 Juni 1966 yang
menandaskan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa yang telah
dimurnikan dan dipadatkan oleh PPKI atas nama rakyat Indonesia. Inilah
sifat dasar Pancasila yang pertama dan utama, yakni sebagai dasar negara
(philosophische grondslaag) Republik Indonesia.18
Pancasila yang terkandung dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945
tersebut ditetapkan sebagai dasar negara pada tanggal 18 Agustus 1945
oleh PPKI yang dapat dianggap sebagai penjelmaan kehendak seluruh rakyat
Indonesia yang merdeka. Atas dasar ini, Pancasila merupakan intelligent choice karena
mengatasi keanekaragaman dalam masyarakat Indonesia dengan tetap
toleran terhadap adanya perbedaan. Penetapan Pancasila sebagai dasar
negara tidak hendak menghapuskan perbedaan tetapi merangkum semuanya
dalam satu semboyan empiris khas Indonesia yang dinyatakan dalam seloka
“Bhinneka Tunggal Ika”.
Penetapan Pancasila sebagai dasar negara
itu memberikan pengertian bahwa negara Indonesia adalah Negara
Pancasila. Hal itu mengandung arti bahwa negara harus tunduk kepadanya,
membela dan melaksanakannya dalam seluruh perundang-undangan. Mengenai
hal itu, Kirdi Dipoyudo (1979:30) menjelaskan: “Negara Pancasila adalah
suatu negara yang didirikan, dipertahankan dan dikembangkan dengan
tujuan untuk melindungi dan mengembangkan martabat dan hak-hak asasi
semua warga bangsa Indonesia (kemanusiaan yang adil dan beradab), agar
masing-masing dapat hidup layak sebagai manusia, mengembangkan dirinya
dan mewujudkan kesejahteraannya lahir batin selengkap mungkin memajukan
kesejahteraan umum, yaitu kesejahteraan lahir batin seluruh rakyat, dan
mencerdaskan kehidupan bangsa (keadilan sosial).”
Pandangan tersebut melukiskan Pancasila
secara integral secara utuh dan menyeluruh sehingga merupakan penopang
yang kokoh terhadap negara yang didirikan di atasnya, dipertahankan dan
dikembangkan dengan tujuan untuk melindungi dan mengembangkan martabat
dan hak-hak asasi semua warga bangsa Indonesia. Perlindungan dan
pengembangan martabat kemanusiaan itu merupakan kewajiban negara.
Pancasila seperti yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dan ditegaskan
keseragaman sistematikanya melalui Instruksi Presiden No.12 Tahun 1968
itu tersusun secara hirarkis-piramidal. Setiap sila (dasar atau asas)
memiliki hubungan yang saling mengikat dan menjiwai satu sama lain
sedemikian rupa sehingga tidak dapat dipisah-pisahkan. Melanggar satu
sila dan mencari pembenarannya pada sila lainnya adalah tindakan
sia-sia. Oleh karena itu, Pancasila pun harus dipandang sebagai satu
kesatuan yang bulat dan utuh, yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Usaha
memisahkan sila-sila dalam kesatuan yang utuh dan bulat dari Pancasila
akan menyebabkan Pancasila kehilangan esensinya sebagai dasar negara.
Sebagai alasan mengapa Pancasila harus
dipandang sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh ialah karena setiap
sila dalam Pancasila tidak dapat diantitesiskan satu sama lain. Prof.
Notonagoro melukiskan sifat hirarkis-piramidal Pancasila dengan
menempatkan sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai basis bentuk piramid
Pancasila. Dengan demikian keempat sila yang lain haruslah dijiwai oleh
sila Ketuhanan Yang Mahaesa. Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa
Pancasila sebagai dasar negara sesungguhnya berisi:
- Ketuhanan yang Maha Esa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Persatuan Indonesia, yang ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
- Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Ketuhanan yang Maha Esa, yang ber-Persatuan Indonesia, yang ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
- Persatuan Indonesia, yang berKetuhanan yang maha esa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, berKerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
- Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, yang ber-Ketuhanan yang Maha Esa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Persatuan Indonesia, dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
- Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Persatuan Indonesia, dan ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.